Nuku Festival World Bukan Sekadar Pesta Kebudayaan
Penulis : Rajif Duchlun
Nuku Festival World benar-benar magis. Ide besar ini bagi saya sangat berbeda dengan pagelaran festival pada umumnya. Kenyataannya, dalam banyak pagelaran, kita cenderung membangun opini investasi, ketimbang nilai dan pesan—yang seharusnya ditegaskan—dalam perayaan tersebut.
Banyak pihak, terutama para pengambil keputusan cenderung membicarakan lahan komersial pada panggung kebudayaan. Hal ini yang membuat acara-acara kebudayaan tampak seperti ajang mengejar kepentingan logistik. Ironisnya, event seperti itu malah dijadikan sebagai lahan memperkaya diri dan kelompok.
Belakangan, saya mendengar Nuku Festival World sebagai sesuatu yang baru. Event ini bagi saya tidak pantas disebut pesta kebudayaan. Sebab ia lebih dari sekadar merayakan masa lalu. Ia tidak melulu identik dengan artis ibu kota.
Bagi saya, Nuku Festival World menawarkan ritual religi dan refleksi atas ketidaksadaran kita terhadap beragam persoalan yang dihadapi Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Sebuah event yang patut kita sebut sebagai ‘momentum kesadaran’.
Andai Saya Tahu Menikam Dada dengan Besi
Dalam pagelaran ini, saya mendengar ada beberapa rangkaian kegiatan yang akan digelar bertepatan dengan Haul Sultan Nuku ke-211. Kegiatan tersebut di antaranya, Taji Besi (Badabus) massal, Agreement Kie Raha, Ekspedisi Nuku, Monolog ‘Nuku Pangge Pulang’, dan beberapa agenda lainnya.
Namun, dari sekian kegiatan tersebut yang membuat saya merinding adalah pagelaran Taji Besi atau yang kita kenal dengan sebutan ‘Badabus’. Saya sempat mendengar penjelasan yang disampaikan oleh pihak panitia, agenda ini akan digelar secara massal dengan menghadirkan para Ulama dan pemuka agama yang didatangkan dari semua kab/kota di Maluku Utara.
Para Ulama dan pemuka agama ini akan berperan sebagai pengarah dalam Taji Besi massal. Saya sudah bisa membayangkan, betapa pagelaran ini tidak sekadar pesta kebudayaan. Sebab, doa-doa bukan perayaan. Saya mengerti, di hari itu, hari di mana besi-besi dihantam ke dada, akan ada banyak zikir yang menuju ke langit. Kami, generasi Banau, Nuku, Khairun—siapapun itu—seperti ditampar dan mulai mengerti: perlawanan berasa lengkap bila doa-doa ada di dada.
Saya ingin sekali ikut terlibat dalam pagelaran Taji Besi. Tapi rasanya sulit sekali. Melihat besi yang rupanya seperti anak panah ditikam ke dada dengan sekuat tenaga, membuat tungkai saya bergetar. Dan teman-teman saya tahu, dada saya terlalu kecil untuk menahan besi setajam itu. Mungkin dada saya terlalu banyak menampung nasib. Cukup saja nasib, jangan lagi besi.
Andai saya bisa menikam dada dengan besi seperti itu, saya tentu tidak akan lagi menulis tentang rindu. Barangkali dengan begitu, saya terbiasa menahan luka. Saya tahu rindu bukan luka. Tapi saya tidak akan menjawab ketika kalian bertanya, memilih ditikam besi atau rindu?
Ah, saya agak sensitif. Mari bicara lagi Nuku Festival World. Sungguh, saya menanti Taji Besi. Kalau kalian mengerti ‘cara menikam besi’ di dada, boleh ajarkan saya. Setidaknya, sekali saja saya belajar menikam. (*)
Leave a Comment